Sebuah bangunan ala Tiongkok kuno terletak di belakang deretan bangunan ruko baru JI. Budi Utomo, Singkawang. Tepatnya rumah No.36 ini di ujung jalan menuju tepi sungai. Di antara bangunan baru begitu banyak dalam kota Singkawang, bangunan tersebut masih kokoh berdiri selama ratusan tahun sampai sekarang. Bentuknya yang mirip “Si he yuan” (bangunan khas Tiongkok utara) ini justru memberikan kesan bersahaja dan sedikit kesuraman karena terkikis hantaman cuaca selama ratusan tahun.
Sebuah bukti nyata bersejarah yang mencatat leluhur orang Tionghoa turut membangun negara Indonesia yang indah permai dan subur ini sejak zaman dulu dengan susah payah, bergotong-royong dan gigih tanpa pamrih.
Lebih seratus tahun silam, karena terjadi kelaparan sangat parah akibat bencana alam dan ulah manusia, desa Jian Mei, Kabupaten Hai Cang, sebuah desa kecil pesisir kota Amoy, Fujian Tiongkok. Seorang petani remaja bernama Xie Shou Shi (dialek Singkawang: Chia Siu Si) tidak sudi mati kelaparan tanpa berusaha. Lalu memutuskan mengarungi lautan bersama beberapa teman sekampung halaman menuju Asia Tenggara, mencari kehidupan baru demi diri sendiri, keluarga maupun kampung halaman.
Dalam perjalanan yang penuh resiko tenggelam dan hidup atau mati di lautan luas, dengan hanya berbekal tekad dan kepercayaan diri mereka terdampar di semenanjung Malaya (kini Malaysia). Mereka bekerja di rumah seorang berada sebagai kuli, sebenarnya sudah bersyukur dapat tempat terlindung namun tidak berselang lama terjadilah peristiwa kerusuhan. Mau tidak mau, Xie bersama beberapa kuli melarikan diri dengan perahu layar dan akhirnya tiba di Sungai Singkawang yang ketika itu dikuasai Belanda.
Kota Singkawang pada seratus tahun lalu masih merupakan dusun kecil sunyi sepi yang belum digarap, penuh hutan belantara namun berpenduduk minim. Belum ada jalan raya, yang ada hanya jalan tikus menghubungkan beberapa gubuk yang langka. Transportasi hanya mengandalkan sepeda dan pedati, sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah “kota” merupakan jalur utama satu-satunya untuk pengangkutan materi ke dunia luar.
Setelah tiba di tanah subur ini dalam hati Xie berkobar lagi harapan kehidupan yang membara. Dia berkhayal malah seolah-olah sudah melihat hari depan yang cerah. Walau dalam kondisi serba kekurangan, hanya dengan keyakinan dan kecerdasan beserta kedua tangannya yang giat bekerja, dia berusaha keras mengarap tanah tidur mulai subuh hingga malam. Dalam waktu relatif singkat, dia diakui dan didukung saudara-saudara suku lain dan penguasa Belanda setempat.
Dia berhasil menanam fondasi usaha awal yang kokoh. Belantara tidur semula sudah disulap menjadi beberapa kebun karet, kebun kelapa maupun kebun buah-buahan. Selain mengembangkan palawija yang bernilai ekonomis, bahkan sudah mendorong perkembangan ekonomi setempat. Meningkatkan pendapatan semua orang yang terlibat dan menyejahterakan kehidupan masyarakat pada umumnya. Kemudian Xie berhasil membangun suatu armada, mengangkut hasil bumi maupun produk hasil dan kebun karet dan kebun kelapa menuju Singapura sebagai komoditi ekspor.
Seiring perkembangan ekonomi pertanian dan perkebunan dengan pesat di Singkawang, mengakibatkan penambahan tenaga kerja dengan cepat pula. Sebuah dusun kecil yang tandus kini sudah menjadi bandar dagang yang ramai manusia berlalu lalang dengan kegiatan. Xie Shou Shi sudah menjadi seorang tersohor dan penting di mata masyarakat maupun pejabat setempat.
Pada tahun 1901 setelah dapat tanah hibah dari pejabat pemerintahan koloni Belanda, Xie mendatangkan arsitek dari kampung halaman di Fujian, membangun sebuah rumah besar di pesisir sungai yang penuh kesibukan transportasi sungai. Hingga kini rumah besar yang dikenal sebagai rumah besar Hiap Sin ini merupakan bangunan ala kombinasi timur barat satu-satunya yang tertua dan masih berdiri kokoh di kota Singkawang.
Dalam kondisi ratusan tahun silam, alat pembangunan waktu itu tentu berbeda jauh dengan masa sekarang. Berdirinya bangunan yang bak kastil ini sepenuhnya dirampungkan tukang dengan gigih dan susah payah dengan hanya mengandalkan peralatan sederhana dan kecerdasan. Di samping itu juga bangunan tradisional Tionghoa bercorak ala kombinasi timur barat, boleh dikatakan sebagai hasil kawin teknologi pembangunan corak ketimuran dan kebaratan. Semua bahan bangunan dari kayu, bahkan atap sirap pun dibuat dari belahan tipis kayu ulin.
Bangunan besar dengan luas lebih dari 5000 m2 ini berdudukan posisi timur menghadap ke arah barat, berlantai dua di pintu utama dan kedua sisinya. Sebuah bendungan besar di sisi sungai yang sangat penting untuk lalu lintas menuju laut, membangun pula sebuah dermaga bongkar muat barang di sana. Pesisir sungai sekitarnya dibendung dengan kokoh.
Rumah besar ini memiliki dua ruangan besar bagian depan dan belakang yang penuh ornamen dan ukiran maupun kaligrafi berwarna emas di setiap ambang pintu. Tulisan “Bao Shu” tergantung di tengah-tengah ruangan lantai dua. Tulisan “Jing Xing” dan “Qing Yun” terpampang di kiri-kanannya sedangkan di kiri kanan pintu lantai satu masih ada tulisan “Pei Lan” dan “Yu Zhu”. Sisi kiri tertulis “Ju Ren” dan sisi kanan “You Yi” di bagian belakang ruangan depan.
Dalam ruangan depan tersusun satu set meja kursi berkesan sangat mewah dengan ukiran dan tatahan nirmala ala Tiongkok. Fungsinya untuk menerima tamu pejabat setempat dan tokoh masyarakat maupun pengusaha. Sebuah taman bunga kecil memisahkan bagian ruangan depan dan ruangan belakang. Tulisan “Jian Long” berwarna emas terpampang di tengah-tengah pintu masuk, diiringi sepasang Duilian ukiran kilap gemilau di dua sisi, tulisan masing-masing tertera di atasnya.
Ruangan belakang merupakan altar abu leluhur, terpajang patung Buddha dan dewa beserta papan nama para leluhur. Seperti ruangan depan, terdapat pula sebuah taman kecil di bagian belakang ruangan, mengelilingi belasan kamar tidur bagian barat yang tersusun dalam bentuk alfabet U. Tempat istirahat anak cucu keluarga Xie terletak di sana. Sebuah koridor menghubungkan semua Kamar tidur dan ruangan depan belakang agar bebas dari sengatan matahari dan curah hujan. Kedua sisi koridor dihiasi ornamen berbagai corak menciptakan pandangan yang pesona.
Bangunan nuansa antik yang didirikan Xie Shou Shi (alias Xie Zhong Shou, Xie Shou, Xie Feng Chen), sang leluhur perintis pertama marga Xie di Singkawang, sudah berumur 105 tahun namun masih berdiri kokoh. Hingga kini sudah menjelang tujuh generasi masih menetap di situ dan meneruskan dan generasi ke generasi. Demi memelihara harta benda leluhur dan melestarikan benda bersejarah budaya corak original Tionghoa, sekaligus merespon kebijakan Pemkot Singkawang yang menetapkan kota Singkawang sebagai pusat kebudayaan Tionghoa untuk mengembangkan industri pariwasata setempat.
Tahun 2002, marga Xie yang bermukim di Singkawang dan terpencar di berbagai daerah mengukuhkan jajaran “Dewan Pengelola Dana Rumah Leluhur Xie Xie Sheng” yang didirikan 1982, sekaligus menyelenggarakan kegiatan peringatan 101 tahun berdirinya rumah tersebut. Dengan harapan anak cucu akan berbakti dan mentaati wejangan leluhur dan meneruskan dan mengembangkan tradisi
maupun prestasi yang Iebih cemerlang.
Sebuah bukti nyata bersejarah yang mencatat leluhur orang Tionghoa turut membangun negara Indonesia yang indah permai dan subur ini sejak zaman dulu dengan susah payah, bergotong-royong dan gigih tanpa pamrih.
Lebih seratus tahun silam, karena terjadi kelaparan sangat parah akibat bencana alam dan ulah manusia, desa Jian Mei, Kabupaten Hai Cang, sebuah desa kecil pesisir kota Amoy, Fujian Tiongkok. Seorang petani remaja bernama Xie Shou Shi (dialek Singkawang: Chia Siu Si) tidak sudi mati kelaparan tanpa berusaha. Lalu memutuskan mengarungi lautan bersama beberapa teman sekampung halaman menuju Asia Tenggara, mencari kehidupan baru demi diri sendiri, keluarga maupun kampung halaman.
Dalam perjalanan yang penuh resiko tenggelam dan hidup atau mati di lautan luas, dengan hanya berbekal tekad dan kepercayaan diri mereka terdampar di semenanjung Malaya (kini Malaysia). Mereka bekerja di rumah seorang berada sebagai kuli, sebenarnya sudah bersyukur dapat tempat terlindung namun tidak berselang lama terjadilah peristiwa kerusuhan. Mau tidak mau, Xie bersama beberapa kuli melarikan diri dengan perahu layar dan akhirnya tiba di Sungai Singkawang yang ketika itu dikuasai Belanda.
Kota Singkawang pada seratus tahun lalu masih merupakan dusun kecil sunyi sepi yang belum digarap, penuh hutan belantara namun berpenduduk minim. Belum ada jalan raya, yang ada hanya jalan tikus menghubungkan beberapa gubuk yang langka. Transportasi hanya mengandalkan sepeda dan pedati, sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah “kota” merupakan jalur utama satu-satunya untuk pengangkutan materi ke dunia luar.
Setelah tiba di tanah subur ini dalam hati Xie berkobar lagi harapan kehidupan yang membara. Dia berkhayal malah seolah-olah sudah melihat hari depan yang cerah. Walau dalam kondisi serba kekurangan, hanya dengan keyakinan dan kecerdasan beserta kedua tangannya yang giat bekerja, dia berusaha keras mengarap tanah tidur mulai subuh hingga malam. Dalam waktu relatif singkat, dia diakui dan didukung saudara-saudara suku lain dan penguasa Belanda setempat.
Dia berhasil menanam fondasi usaha awal yang kokoh. Belantara tidur semula sudah disulap menjadi beberapa kebun karet, kebun kelapa maupun kebun buah-buahan. Selain mengembangkan palawija yang bernilai ekonomis, bahkan sudah mendorong perkembangan ekonomi setempat. Meningkatkan pendapatan semua orang yang terlibat dan menyejahterakan kehidupan masyarakat pada umumnya. Kemudian Xie berhasil membangun suatu armada, mengangkut hasil bumi maupun produk hasil dan kebun karet dan kebun kelapa menuju Singapura sebagai komoditi ekspor.
Seiring perkembangan ekonomi pertanian dan perkebunan dengan pesat di Singkawang, mengakibatkan penambahan tenaga kerja dengan cepat pula. Sebuah dusun kecil yang tandus kini sudah menjadi bandar dagang yang ramai manusia berlalu lalang dengan kegiatan. Xie Shou Shi sudah menjadi seorang tersohor dan penting di mata masyarakat maupun pejabat setempat.
Pada tahun 1901 setelah dapat tanah hibah dari pejabat pemerintahan koloni Belanda, Xie mendatangkan arsitek dari kampung halaman di Fujian, membangun sebuah rumah besar di pesisir sungai yang penuh kesibukan transportasi sungai. Hingga kini rumah besar yang dikenal sebagai rumah besar Hiap Sin ini merupakan bangunan ala kombinasi timur barat satu-satunya yang tertua dan masih berdiri kokoh di kota Singkawang.
Dalam kondisi ratusan tahun silam, alat pembangunan waktu itu tentu berbeda jauh dengan masa sekarang. Berdirinya bangunan yang bak kastil ini sepenuhnya dirampungkan tukang dengan gigih dan susah payah dengan hanya mengandalkan peralatan sederhana dan kecerdasan. Di samping itu juga bangunan tradisional Tionghoa bercorak ala kombinasi timur barat, boleh dikatakan sebagai hasil kawin teknologi pembangunan corak ketimuran dan kebaratan. Semua bahan bangunan dari kayu, bahkan atap sirap pun dibuat dari belahan tipis kayu ulin.
Bangunan besar dengan luas lebih dari 5000 m2 ini berdudukan posisi timur menghadap ke arah barat, berlantai dua di pintu utama dan kedua sisinya. Sebuah bendungan besar di sisi sungai yang sangat penting untuk lalu lintas menuju laut, membangun pula sebuah dermaga bongkar muat barang di sana. Pesisir sungai sekitarnya dibendung dengan kokoh.
Rumah besar ini memiliki dua ruangan besar bagian depan dan belakang yang penuh ornamen dan ukiran maupun kaligrafi berwarna emas di setiap ambang pintu. Tulisan “Bao Shu” tergantung di tengah-tengah ruangan lantai dua. Tulisan “Jing Xing” dan “Qing Yun” terpampang di kiri-kanannya sedangkan di kiri kanan pintu lantai satu masih ada tulisan “Pei Lan” dan “Yu Zhu”. Sisi kiri tertulis “Ju Ren” dan sisi kanan “You Yi” di bagian belakang ruangan depan.
Dalam ruangan depan tersusun satu set meja kursi berkesan sangat mewah dengan ukiran dan tatahan nirmala ala Tiongkok. Fungsinya untuk menerima tamu pejabat setempat dan tokoh masyarakat maupun pengusaha. Sebuah taman bunga kecil memisahkan bagian ruangan depan dan ruangan belakang. Tulisan “Jian Long” berwarna emas terpampang di tengah-tengah pintu masuk, diiringi sepasang Duilian ukiran kilap gemilau di dua sisi, tulisan masing-masing tertera di atasnya.
Ruangan belakang merupakan altar abu leluhur, terpajang patung Buddha dan dewa beserta papan nama para leluhur. Seperti ruangan depan, terdapat pula sebuah taman kecil di bagian belakang ruangan, mengelilingi belasan kamar tidur bagian barat yang tersusun dalam bentuk alfabet U. Tempat istirahat anak cucu keluarga Xie terletak di sana. Sebuah koridor menghubungkan semua Kamar tidur dan ruangan depan belakang agar bebas dari sengatan matahari dan curah hujan. Kedua sisi koridor dihiasi ornamen berbagai corak menciptakan pandangan yang pesona.
Bangunan nuansa antik yang didirikan Xie Shou Shi (alias Xie Zhong Shou, Xie Shou, Xie Feng Chen), sang leluhur perintis pertama marga Xie di Singkawang, sudah berumur 105 tahun namun masih berdiri kokoh. Hingga kini sudah menjelang tujuh generasi masih menetap di situ dan meneruskan dan generasi ke generasi. Demi memelihara harta benda leluhur dan melestarikan benda bersejarah budaya corak original Tionghoa, sekaligus merespon kebijakan Pemkot Singkawang yang menetapkan kota Singkawang sebagai pusat kebudayaan Tionghoa untuk mengembangkan industri pariwasata setempat.
Tahun 2002, marga Xie yang bermukim di Singkawang dan terpencar di berbagai daerah mengukuhkan jajaran “Dewan Pengelola Dana Rumah Leluhur Xie Xie Sheng” yang didirikan 1982, sekaligus menyelenggarakan kegiatan peringatan 101 tahun berdirinya rumah tersebut. Dengan harapan anak cucu akan berbakti dan mentaati wejangan leluhur dan meneruskan dan mengembangkan tradisi
maupun prestasi yang Iebih cemerlang.