Demo Site
SEJARAH KOTA SINGKAWANG RUMAH MARGA TJHIA SEMBAHYANG KUBUR
PASIR PANJANG SINKA ISLAND PULAU SIMPING
KERAMIK SAKOK

Tuesday, March 30, 2010

Pulau Simping, Pulau terkecil di dunia




Kamu pernah nyangka nggak kalo pulau terkecil di dunia itu justru ada di Indonesia? Indonesia yang terdiri dari banyak kepulauan ternyata memiliki pulau yang dianggap paling kecil di dunia! Nama pulau tersebut adalah Simping. Tadinya nama pulau Simping adalah pulau Kelapa Dua, yang terletak di Teluk Mak Jantu, tepatnya berada dikawasan Sinka Island Park, Singkawang. PBB sendiri mengakui bahwa pulau mungil ini, ‘the smallest island in the world’, jadi keberadaannya sebagai pulau terkecil udah diakui oleh dunia internasional. Ada jembatan lumayan panjang untuk berjalan ke Pulau Simping yang dikelilingi batu-batu. Selain itu Pulau Simping juga dikelilingi pemandangan pantai, laut dan perbukitan yang indah. Makanya pulau ini nggak pernah sepi pengunjung. Nah, kalo kamu lagi berkunjung ke Kalimantan, seru juga kan kalo liat langsung Pulau Simping ini. Dan untuk nyampe ke Pulau Simping, memerlukan waktu 3-4 jam dari kota Pontianak. Ada yang mau berwisata kesini?

Monday, March 29, 2010

Sinka Island

Berada di kawasan Wisata Teluk Karang / Teluk Ma'Jantuh, 8 km sebelah selatan sebelum memasuki Kota Singkawang. Baru beberapa tahun ini serius digarap dan menjadi objek wisata masa depan Kota Singkawang dengan menawarkan beberapa fasilitas hiburan berupa Delman dan Kuda bagi pengunjung selain pemandangannya yang sangat alami.

Keunikannya, Sinka Island Kawasan Wisata Pantai ini memiliki Kebun Binatang atau Sinka Zoo. Keunikan kebun binatang ini terletak diberbagai penjuru mengelilingi Gunung dan kita bisa melihat keindahan laut secara langsung dari atas gunung, Sinka Zoo menampilkan hewan-hewan langka lokal maupun luar daerah, taman rekreasi ini juga menyediakan mobil wisata untuk mengelilingi Gunung.
foto : singkawangproperty



foto : singkawangproperty

Sunday, March 28, 2010

Pasir Panjang

Kota Singkawang dikenal sebagai Kota Amoy dan China Town-nya Indonesia, karena mayoritas penduduknya (sekitar 70%) merupakan etnis Tionghoa. Mengunjungi kota yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia ini, tentu belum lengkap bila belum mengunjungi Pantai Pasir Panjang.
Pantai yang menjadi ikon pariwisata Kota Singkawang dan salah satu objek wisata andalan Provinsi Kalimantan Barat ini telah dikembangkan menjadi sebuah paket wisata terpadu bernama Taman Pasir Panjang Indah (TPPI). Dinamakan dengan Pantai Pasir Panjang karena pantainya membentang panjang melengkungi laut lepas.

Keistimewaan

Pantai Pasir Panjang Singkawang Dari bibir pantai, pengunjung dapat menikmati panorama laut biru berlatar kaki langit yang juga biru. Samar-samar di kejauhan membias hijau Pulau Lemukutan, Pulau Kabung, dan Pulau Randayan yang dipagari perairan Laut Natuna. Hamparan pasir pantainya yang luas dan bersih menjadikan kawasan ini nyaman digunakan untuk berjemur atau melakukan aktivitas olahraga, seperti voli pantai dan sepakbola pantai.

Air lautnya yang jernih dan bersih sangat mendukung aktivitas pengunjung yang ingin berenang atau menyelam. Selain itu, ombaknya relatif besar dan menjadi rumah bagi banyak ikan, sehingga tepat sekali digunakan sebagai arena berselancar dan area memancing.

pasir panjang

Suasana kawasan ini kian eksklusif menjelang detik-detik terbenamnya matahari (sunset) di balik pulau-pulau yang terdapat di sekitar kawasan pantai ini. Pengunjung dapat menikmatinya dari pinggir pantai atau dari pondok-pondok wisata yang banyak terdapat di kawasan tersebut.

Bila bosan di pantai, pengunjung dapat melihat-lihat kehidupan masyarakat kampung nelayan yang tidak terlalu jauh dari lokasi pantai, atau bersantai di shelter-shelter yang terdapat di Semenanjung Cinta.

Pantai Pasir Panjang Singkawang Lokasi

Pantai Pasir Panjang terletak di Kecamatan Tujuh Belas, Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.

Akses

Kota Singkawang berjarak sekitar 142 kilometer dari Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Bandara Supadio atau Terminal Bus Pontianak, pengunjung dapat naik taksi, travel, atau bus sampai Kota Singkawang. Dari pusat Kota Singkawang, Pantai Pasir Panjang berjarak sekitar 17 kilometer lagi. Pengunjung dapat mengaksesnya dengan menggunakan taksi, bus, atau minibus.

Harga Tiket

Pengunjung dipungut biaya sebesar Rp 5.000,- per orang.

Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Pantai Pasir Panjang Singkawang Di kawasan Pantai Pasir Panjang terdapat pusat informasi pariwisata, diskotik, persewaan speed boat, sepeda air, darmoling, gokart, shelter-shelter, pondok wisata, dan toko suvenir. Pengunjung yang tidak terbiasa berenang di pantai dapat berenang di kolam renang yang tersedia, sedangkan yang tidak suka berenang atau pun berjemur dapat mengelilingi pantai dengan naik banana boat. Pengunjung yang membawa anak-anaknya tetap bisa bersenang-senang karena di kawasan ini tersedia arena bermain anak-anak.

Pengunjung tidak bakalan kesulitan mencari makanan karena di kawasan ini terdapat restoran, kafe, warung makan, dan pedagang asongan. Begitu juga yang ingin menginap, tidak perlu repot membawa tenda atau sleeping bag karena di kawasan ini tersedia wisma dan hotel dengan berbagai tipe.

Sumber : Wisata Melayu

Friday, March 26, 2010

Sembahyang Kubur (Ceng Beng)



Cheng Beng, Hari Penghormatan Leluhur


Setiap tanggal 4 atau 5 April, menurut tradisi Tionghoa, adalah hari Cheng Beng
(Mandarin: Qingming). Di mana menurut tradisi Tionghoa, orang akan
beramai-ramai pergi ke tempat pemakaman orang tua atau para leluhurnya untuk
melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara penghormatan ini dilakukan
dengan berbagai jenis, misalnya saja membersihkan kuburan, menebarkan kertas
sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan Gincua (mandarin:
Yinzhi=kertas perak).

Cheng beng adalah salah satu dari 24 Jieqi yang ditentukan berdasarkan posisi
bumi terhadap matahari. Pada Kalender Gregorian AWAL (bukan akhir!) Cheng beng
jatuh pada tanggal 5 April atau 4 April. Bila kita artikan kata Cheng beng,
maka Cheng berarti cerah dan Beng artinya terang sehingga bila digabungkan maka
Chengbeng berarti terang dan cerah.

Saat Chengbeng ideal untuk berziarah dan membersihkan makam karena cuaca yang
bagus (cuaca cerah, langit terang). Apalagi pada jaman dahulu lokasi pemakaman
cukup jauh dari tempat pemukiman. Bahkan bila ada orang yang tinggal jauh dari
kampung halamannya, mereka akan berusaha untuk pulang ke kampung halamannya,
khusus untuk melakukan upacara penghormatan para luluhur.


Sejarah Cheng Beng

Sejarah Cheng beng dimulai sejak dulu kala dan sulit dilacak kapan dimulainya.
Pada dinasti Zhou, awalnya tradisi ini merupakan suatu upacara yang berhubungan
dengan musim dan pertanian serta pertanda berakhirnya hawa dingin (bukan cuaca)
dan dimulainya hawa panas. Ada sebuah syair yang menggambarkan bagaimana cheng
beng itu yaitu: "Sehari sebelum cheng beng tidak ada api" atau yang sering
disebut Hanshijie (han: dingin, shi: makanan, jie: perayaan/festival).

Hanshijie adalah hari untuk memperingati Jie Zitui yang tewas terbakar di
gunung Mianshan. Jin Wengong (raja muda negara Jin pada periode Chunqiu akhir
dinasti Zhou) memerintahkan rakyat untuk tidak menyalakan api pada hari
tewasnya Jie Zitui. Semua makanan dimakan dalam kondisi dingin, sehingga
disebut perayaan makanan dingin.

Chengbeng lebih tepat jika dikatakan terjadi pada tengah musim semi.
Pertengahan musim semi (Chunfen) sendiri jatuh pada tanggal 21 Maret, sedangkan
awal musim panas (Lixia) jatuh pada tanggal 6 Mei. Sejak jaman dahulu hari
cheng beng ini adalah hari untuk menghormati leluhur. Pada dinasti Tang, hari
cheng beng ditetapkan sebagai hari wajib untuk para pejabat untuk menghormati
para leluhur yang telah meninggal, dengan mengimplementasikannya berupa
membersihkan kuburan para leluhur, sembahyang dan lain-lain.

Di dinasti Tang ini, implementasi hari cheng beng hampir sama dengan kegiatan
sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas
pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan. Yang hilang adalah
menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh
di atas kuburan. Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur,
melukis telur dan mengukir kulit telur.

Permainan layang-layang dilakukan pada saat Chengbeng karena selain cuaca yang
cerah dan langit yang terang, kondisi angin sangat ideal untuk bermain
layang-layang. Sedangkan pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie
Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu. Pada dinasti Song (960-1279) dimulai
kebiasaan menggantungkan gambar burung walet yang terbuat tepung dan buah pohon
liu di depan pintu. Gambar ini disebut burung walet Zitui.

Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di kuburan
dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti Ming. Menurut
cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu Yuanzhang,
kaisar pendiri dinasti Ming, untuk mencari kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak
tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan
leluhurnya. Rakyatpun mematuhi perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan
ayahnya yang batu nisannya tidak ada kertas dan ia menemukannya.

Kenapa pada hari cheng beng itu harus membersihkan kuburan?

Itu berkaitan dengan tumbuhnya semak belukar yang dikawatirkan akar-akarnya
akan merusak tanah kuburan tersebut. Juga binatang-binatang akan bersarang di
semak tersebut sehingga dapat merusak kuburan itu juga. Dikarenakan saat itu
cuaca mulai menghangat, maka hari itu dianggap hari yang cocok untuk
membersihkan kuburan. Selain cerita di atas, ada pula tradisi dimana jika orang
yang merantau itu ketika pulang pada saat cheng beng, orang itu akan mengambil
tanah tempat lahirnya dan menaruh di kantong merah. Ketika orang tersebut tiba
lagi di tanah tempat ia merantau, ia akan menorehkan tanah tersebut ke alas
kakinya sebagai perlambang bahwa ia tetap menginjak tanah leluhurnya


http://www.erabaru.or.id/k_11_art_20.htm

Asal Usul Hari Ceng Beng
(Ziarah Tahunan Tiongkok)
(Erabaru.or.id) Pada masa musim semi dan gugur, demi menghindari penindasan
Pangeran Pu Conger terpaksa mengasingkan diri ke luar negeri. Dalam pelariannya
di sebuah tempat yang tidak berpenghuni, karena.penat dan lapar menderanya,
sehingga tidak mampu lagi berdiri. Para pengawalnya berusaha mencari makanan,
namun, meski telah cukup lama berusaha tidak menemukan makanan sedikit pun.
Tepat di saat semuanya dalam kecemasan, pengawal Jie Zitui menuju ke tempat
yang sepi, dan dari pahanya sendiri memotong sepotong daging, memasak semangkok
sup daging. Makanan ini secara berangsur-angsur telah memulihkan tenaga Conger,
ketika pangeran mengetahui daging itu adalah daging sayatan Jie Zitui sendiri,
ia menitikkan air mata, sangat terharu.

Sembilan belas tahun kemudian, Conger menjadi raja, yakni raja Pu Wengong di
masa lampau. Setelah naik tahta Wengong memberi hadiah kepada pejabat yang ikut
mengasingkan diri bersamanya waktu itu, hanya Jie Zitui satu-satunya yang
dilupakan olehnya. Banyak yang mengeluhkan perlakuan yang tidak adil bagi Jie
Zitui, banyak yang menasihatinya agar menghadap raja meminta hadiah. Sebaliknya
Jie Zitui paling memandang rendah orang-orang yang meminta jasa dan hadiah. Ia
berkemas-kemas, dan secara diam-diam pergi ke Mian Shan (gunung Mian) dan
menetap di sana.

Mengetahui hal itu, kemudian Pu Wengong merasa malu bukan main, lalu ia membawa
orang mengundang Jie Zitui. Namun, Jie Zitui bersama ibunya telah meninggalkan
rumahnya pergi ke gunung Mian. Gunung Mian cukup tinggi dan perjalanan ke sana
sulit di tempuh, dipenuhi dengan pepohonan. Untuk mencari dua orang di gunung
tidaklah semudah bicara, ada yang menyarankan untuk membakar gunung Mian dari
tiga sisi, supaya bisa memaksa Jie zitui ke luar dari gunung. Saran ini pun
dianggap paling memungkinkan dilakukan.

Kobaran api membakar segenap gunung Mian, namun, tidak ditemukan juga bayangan
Jie Zitui. Setelah api padam, orang-orang baru mendapati, ternyata Jie Zitui
yang menggendong ibunya sudah meninggal dalam posisi duduk di bawah sebuah
pohon willow tua. Melihat keadaan itu, Pu Wengong menangis tersedu-sedu
menyesali tindakannya. Ketika mengenakan pakaian pada jenazah dan dimaksukkan
ke dalam peti mati, dari dalam lubang pohon ditemukan secarik surat terakhir
yang ditulis dengan darah yang bertuliskan: "Menyayat daging untuk
dipersembahkan kepada raja dengan segenap kesetiaan, semoga paduka selalu
sentosa." Demi memperingati Jie Zitui, Raja Pu Wengong memerintahkan menetapkan
hari itu sebagai hari berpuasa.

Pada tahun kedua, ketika Pu Wengong memimpin serombongan menteri mendaki gunung
untuk mengadakan upacara peringatan pada Jie Zitui, ia mendapati pohon Willow
tua yang telah mati itu hidup kembali. Lalu, pohon Willow tua itu diberi nama
"Willow Sentosa", sekaligus memberi petunjuk di seluruh negeri, dan menjadikan
hari terakhir berpuasa sebagai hari Ceng Beng atau hari ziarah ke makam, yang
kemudian diperingati oleh warga Tiongkok dan orang-orang etnis Tionghoa di
seluruh negeri. Pada tahun ini, hari Ceng Beng akan jatuh pada 5 April ini.

(Sumber:Mingxin-net, Dajiyuan-net)

Wednesday, March 17, 2010

SEJARAH MASYARAKAT ETNIS CINA SINGKAWANG

Akibat perang, bencana alam, dsb, banyak orang Melayu tersebar dari Asia Selatan ke Asia Tenggara. Sebagian dari mereka tiba dan menetap di kepulauan Nusantara. Gelombang pertama orang Melayu disebut Melayu Tua (Proto Melayu) dan penyebarannyasekitar 1.500 Tahun SM. Negrito dan Wedda, yang masing-masing adalah ras asli di kepulauan Nusantara berbaur dengan atau terdesak kedaerah pinggiran oleh Melayu Tua tersebut. Menurut Dr.Fridolin Ukur, penduduk pribumi Kalimantan yangdikenal dengan nama “Dayak” berasal dari Tiongkok bagian selatan, atau tepatnya Provinsi Yunan (d/h. Yunnan, demikian juga selanjutnya) yang ikut dengan arus migrasi besar-besaran antara tahun 3.000-5.000 SM. Demikian dikutip oleh Ali Bastian. (Bastian,Ali, Penduduk Asli Kalimantan dari Tiongkok Selatan? Harian Berita Yuda, 23 September 1991).

Penyebaran gelombang kedua yang disebut Melayu Muda (Deutro Melayu) terjadi sekitar 200-300 tahun SM. “Pada awal abad ke -2 SM, sebagaimana tercatat dalam buku pelajaran Sejarah Indonesia, terjadi migrasi nenek moyang orang Indonesia ke kepulauan Nusanatara ini, Migrasi bangsa iniberlangsung lama sekali dan dalam gelombang-gelombang pada waktu yang berlainan. Tanah asal mereka adalah Tiongkok Selatan (Yunnan). Dari sana mereka berjalan ke pantai barat Hindia Belakang, terus ke selatan dan akhitnya tiba di Indonesia yang sekarang” (Saripin, S., Sejarah Kesenian Indonesia, Jakarta: Pratnya Paramita, 1960, hlm.21) .

Kemudian Melayu Muda ini membaur dengan Melayu Tua, atau mendesak sebagiannya kedaerah pinggiran. Keturunan kedua golongan yang berbaur itulah yang menjadi bagian utama bangsa Indonesia saat ini. Darimana Gerangan Melayu Tua dan melayu Muda yang kemudian menetap di Nusantara pada zaman prasejarah itu berasal? Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat, banyak cendekiawan sepakat bahwa baik Melayu Tua maupun Melayu Muda berasl dari bagian selatan darata Asia. Argumen ini telah terbukti dengan hasil studi antropologi, arkelologi, peradatan, linguistik dsb. Dan dari semua itu dapat dipastikan bahwa semuanya agama aslinya adalah Animisme.

(Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, hlm.2-4, BIP).

Pada Abad ke-7, Buddhisme sangat berkembang di Tiongkok maupun di Indonesia,. Selama 25 tahun (671-695), Yi Jing (I-Tsing) bikkhu senior Dinasti Tang, dalam perjalanannya mengejar agama Buddha ke India (Karyanya: Kisah Perjalanan Mengejar Buddhisme di Laut Selatan), pernah 3 kali singgah di Sriwijaya, dan tinggal belasan tahun disana. Hui Ning (664-665), juga seorang bikkhu senior pada Dinasti Tang tiba di Keling, Jawa. Sekitar 20 bikkhu Tionghoa sudah mengunjungi Sriwijaya, Melayu (sekitar Jambi) atau Keling ketika Yi Jing dan Hui Ning mengadakan perlawatan ke sana. Hu Ning pada akhirnya menetap di Sriwijaya dan Jawa, dan meninggal pada usia lanjut di Indonesia. Dalam hal ini ternyata Kerajaan Sriwijaya sangat mempengaruhi perkembangan agama Buddha yang ada di Tiongkok. Yi Jing malah mengusulkan pada kaisar bagi bikkhu Tiongkok yang ingin mempelajari Buddhisme di India agar belajar dahulu di Sriwijaya. Dari letak geografi, perjalanan laut dari Tiongkok ke Jawa dan Sriwijaya, mereka singgah dipanatai-pantai Kalimantan Barat, walau tidak disebutkan secara khusus karena waktu itu langka penduduk.

(Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, hlm.15-17, BIP).

Sejalan dengan proses Islamisasi yang berlangsung dibeberapa pulau besar Indonsia pada pertengahan abad ke-16, Buddha berangsur-angsur menjadi agama yang banayak dianut oleh orang-orang Tionghoa. Keadaan ini masih berlanjut hingga kini. Sejak Dinasti Han samapai Dinasti Tang, di Tiongkok makin banyak penduduk yang menganut Buddha, Taoisme, dan Konghucu. Orang Tionghoa di Indonesia (orang Tionghoa disini secara luas berarti semua orang berdarah keturunan Tionghoa) menganut ketiga agama tersebut sebagai “Sam Kauw” atau Tridharma. Mereka memeluk ketiga agama tersebut dan membawa kebudayaan tradisional Tionghoa di Indonesia. Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), sebuah perkumpulan orang Tionghoa yang terkenal, didirikan pada tahun 1900. Lee Kim Hok, salah seorang pemimipin perkumpulan itu dalam tulisannya yang berjudul Agama Orang Tinghoa, telah menguraikan perpaduan ajaran Konghucu dengan Buddha dan Taoisme.

Klenteng Sam Po Kong yang sangat terkenal di Semarang, Jawa tengah, yang didirikan oleh orang Tionghoa, secara mencolok mencerminkan cirri-ciri ketiga agama tersebut. Cendikiawan Singapura Lee Khoon Choy menuliskan dalam bukunya, Yinni: Shenhua Yu Xianshi (Indonesia: Mitos dan Realita), bahwa Kelenteng sam Po Kong mengandung cirri-ciri perpaduan tritunggal ketiga agama tersebut. Buddhisme tercermin pada bentuk klenteng, Taoisme tercermin pada suasana misterius jejak peninggalan jangkar kuno, sedangkan Konghucu tercermin dalam lukisan foto Konghucu serta jejak-jejak peninggalan mengenai peringatan 100 pelaut, yang kesemuanya mewakili azas ajaran menyembah nenek moyang dari agama Konghucu.

Pada Tahun 1934, Kwee Tek Hoay mendirikan Sam Kauw Hwee Indonesia pada masa Hindia Belanda, dengan tujuan untuk menyatukan, mengembangkan, dan mempraktikan ketiga agama itu. Pada tahun 1952 ia mendirikan Gabungan Sam Kauw Hwee, yang diganti nama menjadi Gabungan Tridharma Indonesia pada era Soeharto (ORBA)

Pemerintahan soeharto menggalakkan politik pembauran terhadap orang Tionghoa Indonesia, dank arena Konghucu dan Taoisme dianggap berasal dari Tiongkok, serta dianggap tidak menguntungkan pembauran orang Tionhoa, maka dikenakan berbagai pembatasan. Gabungan Tridharma Indonesia kini utamanya mengadakan kegiatan ibadat Buddha, mayoritas mutlak umatnya adalah pemeluk Buddha Mahayana.

(Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, hlm.19-21, BIP).

Pada abad ke-15 (Tahun 1407), armada laksamana Ceng Ho (Zeng He) atau Sam Po Bo atau Sam Po Kong tiba di Kukang, Palembang Sumatera dan mulailah terbentuk komunitas muslim Hanafi sampai ke Sambas di Kalbar. (Tuanku Rao, hlm.652 , China Muslim, hlm.2).

Haji Mah Hwang, asisten Laksamana Cheng Ho, dalam bukunya Yingya Shenglam (Pemandangan Indah di Seberang Samudera) menuliskan sebelum Cheng Ho tiba di Nusantara, sudang ada sejumlah Muslim Tionghoa.

(Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, hlm.25, BIP).

Seabad sebelumnya kaisar Shian (Dinasti Yuan, Tiongkok) pernah mengutus dua orang duta muslim beserta rombongan bernama Sulaiman dan Shamsuddin mengunjungi negara Melayu

(Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, hlm.24, BIP).

Abad ke-17, Sulatan ahmad (nama Wang Santing atau Wang Samtheng, dikenal sebagai menteri negeri Cina) beristrikan putrid Sultan Muhammad dari brunai, menurunkan Raden Sulaiman, pendiri Kesultanan Sambas

(Pabali H. Musa, Sejarah Kesultanan Sambas, hlm. 126,127, 130).

Pada Abad ke-18, antara tahun 1720-1750, Sultan Sambas yakni Sultan Umar Akamuddin pertama kali mengundang penambang-penambang orang tioghoa dari Tiongkok untuk membuka tambang-tambang emas di wilayah kesultanan Sambas. Sekarang wilayah Singkawang, Bengkayang dan Sambas. (Chinese Democracies, hlm.25,312)

Antara 1776-1854 di wilayah Sambas, terbentuk Federasi dari 14 Kongsi – kongsi komunitas penambang Tionghoa. Bernama Heshun Zong Ting (Fosjoen). Ke-14 Kongsi-kongsi itu dalah al : Da gang (Thai Kong), Keng Wei (Hang Moei), Lintian, dll.

Tahun 1834, George Windsar Earl, dalam karangannyaThe Eastern Seas or Voyages and Adventures In The Indian Archipelago, menuliskan kunjungan ke Singkawang, Sambas dan Bengkayang pada tahun 1934, banyak catatan sejarah kehidupan masyarakat Singbebas tercermin dalam kunjungan tersebut, antara lain pasar dan toko-toko di Singkawang hanya dijaga oleh nyonya-nyonya yang bersuami laki-laki Tionghoa dan hanya sedikit nyonya pemilik toko adalah orang Tionghoa, kebanyakan adalah wanita Dayak yang bersuamikan orang Tionghoa. Terlihat bahwa hampir seabad sejak kedatangan rombongan penambang tionghoa ke Singbebas yang ada adalah pria semua, keseimbangan gender hanya dapat didekati dengan perkawinan campur pria tionghoa dengan wanita setempat.

Tahun 1838, Doty dan Puhlman, dua pendeta Jesuit, misionaris Amerika yang berkunjung ke Singbebas, menuliskan kunjunganna dalam “Tour in Borneo, From Sambas Through Monterado to Pontianak and……..Settlement of Chinese and Dayak, During The ……..1838, antara lain penghidupan dan kehidupan penduduk Tionghoa dan lingkungannya adalah yang terbaik dari temapt-tempat lain yang pernah mereka kunjungi (di seluruh dunia) bahkan secara mengejutkan mereka menemukan anak-anak sampai umur 14 tahun semua bersekolah ( Chun Kew, 89 )

Abad ke-21 bahwa wilayah Sambas yang melingkupi kota Singkawang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang (Singbebas) bermakna “sam’ (tiga) “bas”(suku/etnis), dalam ari penduduknya terdii dari :

1. Etnis Melayu Sambas, yang beragama Islam, peleburan dari berbagai suku/etnis yaitu Melayu, turunan campuran Tionghoa-Dayak Islam, Bugis, Jawa, dan lain-lain yang beragama Islam dan mengidentifikasi diri sebagai etnis Melayu.

2. Etnis Tionghoa Tankaw (Tao, Budha dan Konfusius), katolik, Protestan merupakan turunan cina perantauan dan campuran Tionghoa Dayak yang awal mengidentifikasikan diri dalam etnis Tionghoa (turunan China perantauan di Indonesia)

3. Etnis Dayak, beragama Katolik, Protestan, Islam dan sebagian kecil animisme mengidentifikasi diri dengan suku Dayak (penduduk asli Kalimantan)

Berdasarkan sekelumit informasi dan gambaran sejarah tentang pertautan persaudaraan dan persinggngan agama yang dianut masing-masing etnis di Sambas, diharapkan dapat meningkatkan persatuan dan harmsai etnis di sambas dalam menyongsong masa depan, era globalisasi.

Bahwa perayaan Festival Cap Go Meh di Singkawang Februari 2008, merupakan perayaan awal Tiongkok yang sudah ada sejak lebih dari 250 tahun dirayakan di Sambas, telah beradaptasi dan berasimilasi dengan budaya, tradisi dan ritual tradisional animisme setempat, merupakan festival pesta rakyat terbesar di dunia dan fenomena menarik atau perspektif budaya dan pariwisata dunia.

Literatur :

  1. Mary Somers Heidhues, Bolddiggers, Farmers, and Traders in The Chinesse District of West Kalimantan Indonesia.
  2. Yan Bing Ling, Chinesse Democracies Research School of Asia, Africa and America Indian Studies, Universiteit Leiden, The Netherland, 2000.
  3. Prof. Kong Yuan Zi Hi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia No. ISBN : 974-694-8397.
  4. Prof. Kong Yuan Zi Hi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Yayasan Obor Indonesia ISBN : 979-461-361-4.
  5. Mo Parlindungan, Tuanku Rao, LKIS 2007 ISBN : 979-97853-3-2.
  6. H.J, de Graaf, dkk, Cina Muslim PT. Tiara Wacana Yogya, 1998 ISBN : 979-8120-75-2.
  7. Pabali H. Musa, Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan, STAIN Pontianak Press 2003 ISBN : 979-97063-3-5.



Share On Facebook

Labels