Siang yang amat panas bikin badan jadi lemas, enerji cepat terkuras sengatan matahari. Apalagi pasir putih memantulkan cahaya sang surya ke atas, hingga keringat semakin deras mengucur. Bentangan pasir putih yang tebal memang bikin kaki makin berat mengayun. Namun bukan karena itu langkah mendadak berhenti.
Di depan, tampak seonggok kayu hitam yang separuh terbenam pasir. Di dalam kayu yang berongga itu tergolek sebuah tengkorak manusia berikut tulang-belulang. Mata pun otomatis menyapu daerah sekitar. Benar juga tak jauh dari situ berserakan pecahan-pecahan peti kayu yang berisi kerangka manusia.
Tak pelak lagi, ini tanah kuburan. Ditilik dari bentuk peti mati yang membulat dengan sudut melengkung, jelas bahwa itu adalah peti mati orang Cina yang oleh masyarakat Singkawang disebut “kon choi”. Peti ini dibuat dari kayu belian yang kuat dan tahan kikisan waktu.
“Kuburan itu paling lama usianya seratus tahun”, kata Budi Rijanto alias Liauw Hai Leng (51 tahun), pemilik pabrik keramik Tajau Mas di dusun Padang Pasir. Dusun ini termasuk Desa Sedau, Kecamatan Tujuhbelas, dan terletak sekitar 6 km di sebelah selatan Kota Singkawang. Kuburan yang dimaksud berada sekitar 100 meter di belakang pabriknya. “Kuburan itu dibongkar penduduk yang kerjanya mengambil pasir untuk bahan bangunan”, katanya lagi. Aneh juga, biasanya orang Cina punya tradisi kuat merawat makam leluhurnya. “Mungkin kerangka itu dulunya seorang imigran Cina yang datang ke sini dan tak punya sanak saudara”, kilah Liauw Hai Leng.
Kuburan yang relatif kuno serta nama Kampung Padang Pasir, yang kenyataannya memang ada hamparan pasir laut di tengah daratan, merangsang rasa ingin tahu tentang asal muasal tempat dan nama Singkawang. “Singkawang itu berasal dari kata Sang-KeuJong, artinya kuala dan gunung”, kata lelaki Cina itu menerangkan.
Setelah dicek pada kitab sejarah lokal milik pemda, Sang-Keu-Jong memang merupakan nama asal Singkawang. Namun kitab itu tidak menerangkan artinya. Meskipun demikian, pemyataan Liau Hai Leng mengandung kebenaran juga. Apalagi kalau dilihat geografi Singkawang terdiri dari dataran rendah daerah pantai yang dilingkungi bukit dan gunung. Antara lain Gunung Poteng (atau Keu Theu San, menurut bahasa Cina Kek) yang bentuknya seperti ibu jari. Satu bukti bertambah tatkala melihat kegiatan orang menggali tanah liat untuk mebuat keramik di belakang pabrik Tajau Mas. Kira-kira pada kedalaman 3 meter, para penggali sudah menemukan tanah laut.
Kaki pun kembali melangkah mengikuti jalan yang ditunjukkan Hu Tjhiung Fo. Kira-kira sepuluh menit menapaki jalan raya, di kejauhan terlihat kelenteng merah berdiri di atas “bukit” batu besar. Ada anak-anak tangga semen mendaki munuju kelenteng. Bangunan pemujaan ini tidak besar, pada dinding batu terpahat kepala singa. “Toh pe kong ini sekarang namanya Tri Dharma Bumi Raya dan papan namanya yang kini telah rusak menyebutkan angka tahun 1661 Masehi”, ujar Hu Tjhiung Fo. Kemudian ia mengisahkan legenda tentang kuil kuno itu. Dulu para pendeta santai duduk memancing di atas batu yang dibawahnya air lauL
Dan penduduk sekitar hidup membuat garam.
Dan memang.di bawah tangga semen terdapat alat penggiling garam yang terbuat dari batu berbentuk silinder bergaris tengah 50 cm.
Beberapa tahun yang lalu di sekitar Padang Pasir yang masuk daerah Tanjung Batu, penduduk melakukan penggalian dan menemukan sisa-sisa sampan kuno serta keramik Cina asal Dinasti Ming, kata Liauw Hai Leng sungguh-sungguh, meskipun Kanwil Depdikbud Singkawang menyatakann belum menerima laporan penemuan purbakala itu.
Hati jadi penasaran, maka langkah jadi ringan menelusuri daerah sekitamya, untuk mencari informasi tentang kepurbakalaan di sana. Tak terasa tibalah di Desa Kali Asin, sebuah kampung Cina yang letaknya 2 km di selatan Desa Sedau. Bukankah nama Kali Asin ada hubungannya dengan laut?
Dulu desa ini narnanya jam Tang, artinya lapangan garam”, kata Bapak A Tet (74 tahun), sesepuh kampung itu. “Menurui ceriteranya, daerah ini dulunya pantai tempat membuat dan menjemur garam”. Pantai yang ada sekarang letaknya 3 km di barat kampung yang dibelah oleh jalan raya Singkawang-Pontianak itu. Salah seorang penduduk, Hu Thiung Fo (35 tahun), menambahkan sewaktu ia membuat sumur pada kedalaman dua meter telah menemukan pasir laut dan airnya payau. “Kampung ini memang tanah kuno, tak jauh dari sini ada bukti-buktinya”, ajaknya antusias.
Sejarah Kota Singkawang memang tak bisa dipisahkan dengann orang Cina. Semua nama tempat, gunung dan sungai mempunyai nama yang berasal dari Cina; misalnya, Gunung Tanjung Batu yang dulu bernama Ha Sha Kok, atau Gunung Keu Theu San yang sekarang berganti nama menjadi Gunung Raya, atau Jam Tang yang kini menjadi Kali Asin, atau nama Kota Singkawang itu sendiri yang dulunya Sang-Keu-Jong.
Dalam sejarah memang disebutkan, sebelumnya orang Cina berpusat di Montrado, 40 km di sebelah tenggara Singkawang. Mereka mendirikan kongsi-kongsi dalam usaha penambangan emas di sana.
Sekarang hampir tidak ditemukan orang Cina di Montrado, habis tergusur sewaktu peristiwa PGRS / Paraku tahun 1967. Yang tinggal sekarang orang Melayu, Dayak dan Bugis berikut perusahaan penambangan emas milik pemerintah yang bekerja sama dengan perusahaan asing.
Bukti bahwa Montrado pemah menjadi pusat kegiatan orang-orang Cina, adalah tugu peringatan yang didirikan Belanda atas pertempurannya dua kali dengan orang-orang bermata sipit itu, yaitu tahun 1852-1854 dan 1914-1916.
Bukti-bukti lainnya, pecahan-pecahan keramik yang banyak tersebar di tanah Montrado, namun terabaikan. Untunglah ada seorang keramolog amatir, Ny. Marquerite Wyntje, istri pimpinan perusahaan, yang tekun mengumpulkan dan menyambung pecahan-pecahan itu menjadi utuh, maka terlihatlah mangkuk, piring, guci, pipa opium, wadah emas, kebanyakan berasal dari Dinasti Qing, Belanda dan lokal. Siapa tahu lewat beling-beling itu dapat dilihat perpindahan pusat kegiatan masyarakat Cina dari Montrado ke Singkawang.
Sang-Keu-Jong memang masih miskin dengan penelitian purbakala.
Warisan budayanya banyak yang masih terkubur, menunggu kedatangan ilmuwan menguak misteri tanah ini.
Nurhadi Rangkuti
Staf Pusat Penelitian Arkeologi Nasional